Senja Itu Bersama Pak Uban
Pak Uban. Begitulah aku menyapanya. Sosok bapak tua yang
bersahaja dan berwibawa. Rambut putihnya tidak memutihkan semangatnya.
Semangatnya mampu mengalahkan usia senjanya. Siapa yang tidak mengenal
sosoknya, karena wajah ramahnya selalu membuat para mahasiswa bertanya bila tak
melihatnya sehari di kampus.
Pak Uban, Bercerita tentang dirinya, berarti telah bercerita
tentang sebuah episode kehidupan yang tak akan pudar. Beliau memang tidak
mengajari sebuah ilmu yang luar biasa. Akan tetapi beliau mengajarkan,
bagaimana memanfaatkan ilmu yang biasa, menjadi sangat luar biasa.
Siang itu, aku menghukum diriku di bawah terik matahari. Nilai
ujian ku tidak mencapai target. Usahaku yang maksimal tidak membuahkan hasil
sama sekali. Sedih. Seharusnya seperti itu. Namun sesuai perjanjian dengan
diriku semalam, jika tidak mencapai target, aku harus menjemur diriku diterik
matahari. Aku pun duduk berjemur di tengah lapangan belakang kampus. Tanganku
tidak henti-hentinya mencabuti rumput-rumput disekitarku, sebagai pelampiasan.
Kesal. Tidak terasa, air mataku pun tumpah.
Pada saat itulah, pak Uban datang dengan khas cangkul ditangan
kanannya, duduk disebelahku. Merangkul pundakku, kemudian tersenyum. Untungnya
aku segera menghapus air mata. Tak lama kemudian, Pak Uban mengajakku duduk di
pendopok taman.
Pendopok itu begitu sejuk, ditambah lagi suguhan air dari teko
tanah liat. Pendopok itu tidak terlalu besar, mungkin hanya muat untuk lima
orang. Atap dan alasnya terbuat dari rotan-rotan, menciptakan sebuah suasana
baru bagiku. Letak pendopok itu agak jauh dibelakang gedung kampus. Jika melihat
ke belakang dinding Pendopok,akan terlihat seperti halte dimana biasanya aku
menunggu bis umum sepulang kuliah.
Tak jauh dari sana , pak uban sedang asik dengan cangkul, pupuk,
dan sebuah pohon kecil yang baru beliau tanam. Aku pun segera menghampirinya
“ Baru ditanam ya Pak…” sapaku ramah
Pak Uban tersenyum melihatku, “sudah baikan nak…” tangannya
masih sibuk dengan tanaman barunya. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
“ dua minggu yang lalu pohon ini bapak tanam.. jadi masih perlu
perawatan khusus..” katanya sambil menyebarkan pupuk, aku pun
membantunya
“ Bapak punya hobi berkebun ya pak ?” tanyaku sekedar ingin tau
“ hobi…..?? “ alisnya mengernyit, berfikir. “semoga bukan sekedar
hobi” pandangan ramahnya menatap mataku.
“ ngomong-ngomong…. Bapak bukan tukang kebun kampus ini kan …?’
Pak uban terkekeh mendengar pertanyaan ku
“Memang kenapa Nak?” Tanyanya
“Saya cuma heran Pak. Bapak tidak berseragam seperti tukang
kebun lainnya. Tapi kok bapak selalu
merawat tanaman, tak jarang juga saya melihat bapak menanam pohon baru di
kampus ini”
Pal Uban semakin terbahak dengan penjelasanku.
“Saya salah pak? ” tanyaku ragu
Kini pak uban terbatuk-batuk menahan tawa, kami pun beranjak dan
duduk di tepi pendopok. Tidak lama kemudian. Cerita dari bibirnya
mengalir.
“ Pohon tadi adalah pohon yang ke-43 yang pernah Bapak tanam
nak.” matanya menerawang, Menembus pohon kecil yang baru ia pupuki tadi
“Dulu, waktu bapak masih seusia kamu, kira-kira 40 tahun yang
lalu, Bapak memang mempunyai hobi berkebun. Maklum, di kampung Bapa, daerah Malang sana , setiap rumah pasti memilki kebun
apel. Sampai akhirnya ketika pindah ke Jakarta , ditambah lagi karena desakan
polusi dan udara panas di Jakarta , akhirnya Bapak meneruskan hobi tersebut.
Pertama kali, Bapak minta izin pada ketua RT, untuk menanam pohon di perempatan
jalan. Beliau setuju. Bapak pun terus merawat pohon tersebut. Tak terasa lima
tahun berlalu, pohon tersebut menjadi besar dan rindang. Banyak sekali orang
yang berteduh dibawahnya. Mulai dari anak jalanan, tukang-tukang dagangan,
sampai mahasiswa dan orang-orang pulang kerja. Sejak itulah Bapak senang
sekali, karena pohon yang bapak tanam bermanfaat untuk banyak orang. Bahkan
bukan hanya manusia yang bisa menggunakan rindang pohon tersebut, tapi juga
ketika bapak perhatikan, ada burung yang membuat sarangnya di atas pohon itu,
serta capung dan kupu-kupu yang bermain-main….”
“ sejak itulah nak… setiap tahun berganti, bapak selalu
menyempatkan menanam sebuah pohon ditempat-tempat strategis yang sering
dilewati orang”
“ lho.. kenapa harus ketika tahun berganti Pak…?” tanyaku curiga
“ Kenapa ketika tahun berganti ya…??? Entahlah… bapak juga
bingung Nak…” matanya menyipit sambil tersenyum.. “mungkin… sebagai salah satu
wujud syukur bapak juga kepada Allah yang masih memberikan bapak usia…”
Syukur ? kata tersebut hampir tidak ada di kepalaku. Bahkan aku
pun bingung apa yang harus disyukuri. Sampai tahun berganti hari ini, aku belum
pandai bersyukur atas apa yang aku miliki.
“ lalu setelah bapak menanam… apa yang bapak lakukan? “ tanyaku
lanjut
“ setiap tahun berganti.. setiap pohon baru Bapak tanam.. maka
setiap itu pula tercipta semua harapan dan cita-cita baru…yang selalu tertulis
dalam buku ini….” Pak Uban mengeluarkan sebuah buku saku usang dari kantong
bajunya. Kemudian memperlihatkan tulisan terakhir yang baru kemarin ia tulis…
“ apa yang akan saya lakukan di usia senja ini…..”
Dibawahnya pun tertulis berderet rencana setahun kedepan. Salah
satu yang tertulis disana adalah berkumpul dengan cucu. Beliau juga
menceritakan alasan kenapa ingin sekali berkmpul dengan cucu-cucunya di Malang
.
“ bagaimana dengan pohon-pohon sebelumnya yang pernah ditanam
Pak ? dilupakan begitu saja ? “ kataku mengalihkan pembicaraan..
“ oh… ya ngga dong Nak,, “ pak Uban tersenyum, dan
mengacak-ngacak rambutku.
“ justru.. pohon-pohon tersebutlah sebagai tempat bapak
mengevaluasi diri nantinya. Setiap tahun berganti, maka Bapak pasti akan ke
pohon–pohon tersebut. Mengevaluasi diri. Apa yang sudah bapak lakukan
tahun-tahun kemarin ? setiap pohon… ada pelajaran dan hikmah yang selalu
mengingatkan Bapak…” katanya tersenyum.
Merencanakan hidup… Mengevaluasi diri…. aku hampir tidak pernah
melakukan hal tersebut sama sekali. Bahkan memasuki tahun 2007 ini pun, semua
seperti hari-hari lainnya. Mengalir begitu saja. Lebih tepatnya hampir sia-sia.
Hufh.. betapa malunya aku jika seandaninya Pak Uban tau kodisiku sebenarnya.
“kamu lihat pohon besar di ujung sana Nak…” Pak Uban menunjuk
sebuah Pohon disamping kafe, “ itu Bapak tanam sekitar sepuluh tahun yang lalu…
ketika pertama kali Bapak tinggal di kampus ini”. Ya, Pohon itu adalah
tempat mahasiswa biasanya pada nge-riung untuk makan, atau sekedar ngadem
di bawahnya.
“kemudian lihat pohon disana, terus yang itu… sebelahnya lagi…”
Pak Uban terus bercerita tentang hobinya itu, dan kebahagiaan yang ia dapatkan
ketika bisa memberikan manfaat kepada orang lain.
“ Nah… sekarang gantian kamu yang bercerita Nak,, Bapak
siap mendengarkannya”
“ Kamu ada masalah nak.. barang kali Bapak bisa membantu…” aku
menggeleng, tersenyum. Dan terdiam agak lama.
Matahari senja mulai menyapa, semilir angin ramah menyentuh
wajah. Sungguh ini adalah suasana yang seharusnya bisa menyejukkan hati,
namun ujian pagi tadi, ternyata masih memenuhi pikiran ini.
“ Pak.. “ aku angkat bicara. “ apa bapak pernah menanam sebuah
pohon dan merawatnya, tetapi ternyata pohon itu tidak membuahkan hasil…anggaplah
pohon itu ternyata mati.”
Pak Uban manggut-manggut dan tersenyum.
“ pasti pernah nak.. semua orang pasti pernah merasakan
kegagalan…memang kenapa ?”
Aku terdiam agak lama, menunduk, dan menarik nafas panjang..
“ saya gagal Pak.. saya gagal ujian hari ini. Padahal ini adalah
UAS. Seminggu kemarin saya sudah mengerahkan semua waktu dan energi saya, tapi
ternyata pagi tadi… siapa sangka soalnya akan seperti itu. Entah kenapa… saya
blank ga bisa mengisi apa-apa…” suaraku tersekat.. hampir menangis.
“ itulah sebabnya mengapa saya menjemur diri ini siang tadi.
Saya benci Pak.. saya benci dengan diri saya yang teramat bodoh… !” pandanganku
menunduk, tangan ini terkepal begitu kuat, dan tanpa terasa.. sebutir air mata
jatuh tepat diatas pahaku.
“saya…..putus asa Pak….” lanjutku melemah…
“ Nak.. “ tangan Pak Uban merangkul pundakku, matanya seakan
mencari tau tentang diriku
“ kamu yakin sudah sangat giat belajar saat itu…?” aku
mengangguk yakin. Kemudian tertunduk kembali.
“ baiklah, bagus kalau begitu…karena esensi dari sebuah
kemenangan itu.. bukan terletak pada hasilnya.. tapi pada prosesnya. Allah tau
dan melihat bagaimana usaha kamu kemarin, ga usah khawatir,,,,” pak Uban
memukul-mukul pundakku.
“ kegagalan merupakan niscaya dalam kehidupan ini. Coba sekali-kali
kamu tanyakan pada orang sukses, kenapa mereka bisa sukses… itu karena mereka
selalu bangkit dari kegagalan…Adakah orang sukses yang belum pernah gagal? “
“ karena ibaratnya seperti bola, agar bisa terlempar tinggi,
maka harus dihantamkan sekuat mungkin ke bumi, iya kan …” aku mengangguk lemah,
membenarkan.
“ karena itu Nak.. anggaplah kegagalan kamu hari ini adalah
sebuah hantaman yang akan mengajakmu mencapai puncak nantinya.. maka janganlah
lari dari semua ini…karena berarti kamu telah lari dari kesuksesan nanti…”
tatapan mata pak Uban seakan meyakinkanku
“ kamu tau Nak… jika bapak mengikuti kata putus asa.. mungkin
pohon di samping kafe itu tidak akan sebesar sekarang ini….dimana semua
mahasiswa senang belajar dibawah rimbunnya..”
“ itu tandanya.. untuk hal yang sederhana pun -hanya untuk
menanam sebuah pohon- butuh usaha dan kesabaran…”
“ apalagi untuk sebuah cita-cita besar seperti kamu Nak…”
“ semua butuh proses… maka janganlah pernah berhenti …”
“ karena kamu tidak akan pernah melihat masa depan..jika kamu
tidak menanam hari ini…”
Aku menatap dalam mata Pak Uban.. semangat dan harapan ada
didalamnya.Pak Uban mengangguk, meyakinkanku, aku tersenyum, seketika itu Pak
Uban langsung mengacak rambut dan menjabat tanganku erat… sebuah jabatan
yang membuatku rindu dengan ayah di kampung sana ….
***
“Pak yang sudah selesai bagaimana? “ suara Silvy, mahasiswa
paling cerewet di kelas mengaburkan lamunanku.
“ oh ya, waktunya sudah habis ya.. kuis hari ini selesai.
Silahkan dikumpulkan”.
Setelah semua mahasiswa mengumpulkan lembar kuis, mereka
merapihkan meja lipat dan barang-barangnya. Beberapa mahasiswa lelaki mengambil
tasnya yang di gantungkan di ranting-ranting pohon. Sementara Sinta, mahasiswa
paling rajin dikelas, sibuk memunguti sampah-sampah kertas di sekitar pohon.
“sebelum ditutup ada yang mau ditanyakan? “ tanyaku sebelum
menutup kuliah hari itu.
“ Saya Pak, tapi ga berkaitan dengan mata kuliah…” kata Silvy
dengan antusias.
“ yah..ngga apa-apa.. yang penting pertanyaannya tidak
macam-macam..”
“ mmm…… kenapa siy… Bapak suka ngajakin kita untuk kuliah di
bawah pohon rindang seperti hari ini….” Tanya silvy dengan nada centil.
Sementara mahasiswa lain gaduh menyorakinya.
Aku tersenyum. Pertanyaan yang bagus menurutku. Meskipun seratus
kali pertanyaan tersebut terlontar, bibir ini tidak akan pernah lelah
bercerita. Sebuah kisah yang telah mengantarkan ku menjadi dosen seperti
sekarang ini. Satu panen yang pernah ku tanam di masa lalu.